MIRROR
Bulu kudukku sontak berdiri ketika menyusuri lorong di lantai 2. Dinding-dindingnya kusam dan tak terawat menambah beban pikiranku yang sudah penuh dengan berbagai bentuk makhluk mengerikan. Kalau bukan karena ingin menuntaskan dokumen-dokumen kerjaku yang sudah dikejar deadline, aku pasti tidak akan berada di sini, berjalan sendirian ditemani dengan sebuah lentera yang bensinnya hampir habis. Lantai yang terbuat dari batu kali ini terasa seperti lempengan es. Aku berani bertaruh bahwa tidak akan ada penyewa kamar lain yang berani menggesekkan telapak kakinya di atas lantai.
Langkahku terhenti ketika kakiku teratuk sesuatu. Dengan cepat kuarahkan lentera ke bawah. Kedua alisku terangkat. Ternyata sebuah lentera tergeletak di lantai dengan bensin yang berceceran, mungkin karena tak sengaja kutendang tadi. Aku duduk jongkok dengan kepala yang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan. Siapa yang ceroboh atau dengan sengaja meletakkan lentera di tengah jalan? Ketika kupegang lentera itu, ternyata lentera itu masih hangat. Berarti ada satu atau dua orang yang melewati lantai ini sebelumku. Pencuri? Perampok?! Atau pembunuh berdarah dingin?!
Lentera yang kupegang bergoyang-goyang seirama dengan tubuhku yang gemetaran. Sebisa mungkin kuyakinkan diriku bahwa lentera ini milik penyewa kamar lainnya. Ya, pasti lentera ini milik salah satu diantara mereka. Karena tidak mungkin ada pencuri atau perampok yang ingin mencari nafkah di sebuah penginapan tua yang berisi lima pegawai honorer, satu pegawai negeri, dan sepasang nenek dan cucu, pemilik penginapan. Sungguh mustahil.
Kutegakkan tubuhku, lalu berusaha berjalan mantap ke depan, dan mencoba melupakan apa yang baru saja ketemukan. Ketika keberanianku mulai memuncak, tiba-tiba dari arah belakang seseorang berlari dan menabrak pundakku. Spontan aku berteriak dan mengarahkan lenteraku ke arah larinya orang itu. Seketika aku terbelalak. Orang itu menuju kamar yang kusewa sebagai tempat mengerjakan dokumen-dokumen pentingku.
Sedetik kemudian aku sudah berada di dalam kamar dengan nafas yang tersengal-sengal. Kelopak mataku terbuka lebar. Jantungku berdegup tak karuan. Ada yang tidak beres disini. Aku tahu itu. Memang semua barangku masih berada di tempat semula. Tetapi orang yang baru saja masuk ke kamar ini, tidak kutemukan.
Kamar yang kusewa memang tidak begitu lebar tetapi memiliki bentuk ruangan yang unik, yaitu berbentuk L. Ketika pintu terbuka, ada satu lemari lebar buatan German tahun 70an yang akan menyambut. Lalu ada satu set meja kerja yang tak kalah tua dari lemari yang tepat berada di sampingnya. Bila masuk lebih dalam, maka akan ditemukan sebuah meja rias dengan kaca besar yang dibingkai ukiran yang cantik, tetapi sudah termakan usia. Berhadapan dengan meja rias, terdapat ranjang yang muat untuk 2 orang. Lokasi ranjang ini tepat di garis pendek huruf L. Hal ini membuatnya menjadi tempat favoritku jika sedang suntuk mengerjakan pekerjaanku.
Dengan semua keberanian yang kukumpulkan, aku berjalan menyusuri kamar dengan langkah hati-hati dan lentera yang siap kujadikan senjata jika orang itu menyergapku. Ketika melewati meja kerja, kulihat map tempat yang kugunakan untuk menyimpan dokumen yang akan dikirim besok lusa, terbuka. Pikiranku melayang menuju ke segala spekulasi. Apakah orang itu menginginkan dokumenku? Mengapa? Ini tidak masuk akal. Tetapi ketika aku berjalan menuju ranjang, jantungku kembali dikejutkan dengan hal yang lebih tidak masuk akal. Sam, teman baikku, tengah terlentang di ranjangku dengan pisau yang tertancap di dadanya.
Aku mundur beberapa langkah. Pundakku naik turun dengan cepat. Otakku tidak mampu memberikan keterangan apapun tentang kejadian ini. Ini terlalu mendadak. Dan aku tidak siap untuk semua ini. Kembali kuperhatikan Sam yang sudah tak bergerak sama sekali. Dari jarak yang agak jauh, dapat kulihat wajah garang Sam yang seolah sebelum kematiannya sempat melawan pembunuhnya. Tetapi ketika melihat pisau yang masih menancap di tubuh Sam dan darah segar yang terpeta di sekitarnya, membuatku tidak tega dan memutar tubuhku sambil memejamkan mata. Ketika kubuka kembali kelopak mataku, seseorang berdiri di hadapanku. Ia berlumuran darah dan tangan kanannya memengang pisau yang sama seperti pisau yang tertancap di tubuh Sam. Tetapi ketika kuperhatikan dengan lebih teliti, ada bingkai disekeliling orang itu. Wajahnya terlihat sungguh familiar. Ekspresinya terkejut, sama denganku.
Segera kuacungkan lenteraku padanya, dengan harapan agar ia takut. Sayangnya, belum sempat aku menakutinya, aku sudah ketakutan lebih dahulu. Lenteraku hilang, atau lebih tepatnya, tertukar. Tertukar dengan pisau itu. Sekali lagi kuberanikan diri untuk melihatnya. Kali ini aku mengenalinya. Aku sering melihatnya dengan baju tidur yang bergaris-garis itu. Aku juga sering melihatnya dengan rambut coklat yang acak-acakan. Aku sering melihatnya di cermin.
Kepalaku menunduk semakin dalam. Tidak berani melihatnya lagi. Ini pasti mimpi. Tidak mungkin aku yang melakukannya. Tetapi darah yang tertempel di baju tidurku, membuat pengakuanku tidak berarti. Kemungkinan besar, ketika mayat Sam ditemukan besok, aku pastilah yang menjadi tersangka utama. Aku pasti menjadi bual-bualan publik. Namaku pasti akan tercemar. Keluargaku, temanku, kolegaku, semuanya pasti akan menjauhiku. Dan yang paling pasti, aku akan dipecat, dan semua usaha yang sudah kulakukan selama ini untuk naik pangkat akan sia-sia.
Sejenak kepalaku seperti ditusuk dengan ribuan paku. Ini gawat. Sakit kepalaku akan kambuh lagi. Saat aku sibuk dengan memijat kepala, tiba-tiba bahuku dicengkram kuat. Kulirik sesuatu yang mencengkram bahuku. Betapa kagetnya aku ketika mengetahui bahwa yang mencengkram bahuku adalah tangan yang berlumuran dengan darah. Begitu ekor mataku mencapai sosok yang memiliki tangan tersebut, bulu kudukku langsung berdiri.
“S..Ss..Sam?” ucapku terbata-bata.
Sam tersenyum mengerikan. “Biar kuambil apa yang telah kau ambil dariku.”
Seluruh badanku berguncang. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tetapi aku tidak punya nyali untuk bertanya pada Sam yang sekarang telah menjadi hantu, zombie, atau apapun itu. Ini mengerikan. Sam tiba-tiba mengambil pisau yang ada di tangan kananku. Ia menyeringai padaku, sebelum tangan kanannya yang menggenggam pisau, naik ke atas dan turun dengan cepat ke arahku.
“AAAAAAAAARRRRRRGGGHHH!!!”
Kelopak mataku terbuka lebar, jantungku melompat-lompat tak karuan. Spontan tanganku meraba ke seluruh tubuh, mencari pisau. Nihil. Pisau itu tidak ada. Kuangkat kepalaku dan melihat sekeliling. Tidak ada lemari tua buatan German, meja tua itu juga lenyap, lalu meja rias dan ranjangnya pun ikut menghilang. Sam? Sam juga tidak ada disini. Dimana dia? Aku turun dari ranjang, memakai mantel coklatku, kemudian keluar dari kamar.
Hanya ada dua lentera yang menyinari lorong lantai 1. Aku mengambil salah satunya untuk peneranganku saat berjalan ke kamar Sam yang ada di lantai 2. Tangga kayu berderit saat kakiku menginjaknya. Betapa tuanya bangunan ini, pikirku. Begitu sampai di lantai 2, aku berbelok ke kiri, lalu mengetuk pintu kedua dari ujung dan meletakkan lenteraku diseberang kamar Sam sambil menunggu jawaban. Karena tidak ada jawaban dari dalam, aku segera memutar knop, dan membuka pintu. Ini memang salah satu kebiasaan buruk Sam, tidak mengunci pintu. Cahaya dari lilin yang tinggal setengah memberikan pengelihatan padaku bahwa Sam sedang tidak ada di kamarnya. Kamar Sam kosong.
Aku mendekat ke meja kecil di dekat ranjangnya. Ada 2 buah apel yang belum dikupas dan sebilah pisau kecil. Melihat pisau itu, aku jadi teringat dengan mimpi yang baru saja terjadi. Kuambil pisau itu dan mengamatinya.
Bunyi pintu yang berderit mengalihkan perhatianku. Dengan terburu-buru, aku segera keluar dari kamar Sam. Saat lentera yang kutinggalkan di seberang kamar Sam, ingin kuambil, lentera itu sudah tergeletak di lantai, dan bensinnya tercecer. Melihat semua kejanggalan ini, aku segera berlari menuju kamar lain yang kusewa di lantai ini.
Begitu sampai di depan pintu, aku merogoh kantung mantel sebelah kiri, dan mengambil kunci. Ketika hendak memasukkan kunci ke lubangnya, tiba-tiba pintu terbuka. Cahaya lilin berhambur keluar, menyilaukan mataku untuk beberapa saat. Begitu aku bisa melihat, seseorang sedang duduk di hadapanku dan membaca kertas dokumen yang kusimpan di dalam map.
“Sam? Apa yang kaulakukan? Kenapa kau membaca dokumen-dokumenku?”
Sam berdiri, lalu berbalik dan menatapku. “Penelitianmu sangat bagus, James. Dan tidak diragukan lagi kau akan naik pangkat berkat ini. Hanya saja belakangan ini aku berpikir bahwa kau tak pantas menerimanya.”
Ada cambuk kedongkolan yang memecut hatiku. “Apa maksudmu?!”
“Ya.. aku merasa kau kurang berani, kawan. Bagaiman bisa kau menjabat sebagai kepala administrasi jika kau tidak punya keberanian? Keberanian memutuskan, misalnya,” jawab Sam sambil berjalan menuju meja rias dan menatap refleksi dirinya sambil tersenyum. “Ah, ketika menatap cermin ini aku menyadari satu hal. Aku pastinya pantas menjadi kepala Administrasi.”
“Sam, kau tau aku sangat menginginkan jabatan itu. Jadi kembalikan dokum...”
“Ah, James, kemarilah,” ajaknya. “Eh, apa yang kau bawa itu? Di tangan kananmu.”
Jujur, aku sendiri kaget dengan apa yang dibawa tangan kananku. Pastilah tadi aku tidak sadar, sehingga membawanya keluar dari kamar Sam menuju kemari. “In..ini bukan apa-apa,” jawabku sambil memasukkannya ke dalam kantung mantel.
Sam mengangkat alisnya. “Oh..” responnya. “Hei James, kemarilah!”
Aku menuruti permintaannya dan berdiri di depannya, menghadap cermin. Aku melihat refleksi kami berdua. Sam yang notabene lebih tinggi dari pada aku, terlihat sangat menonjol dengan balutan mantel biru dongker kebanggaannya. Jika dillihat dari segi manapun di dalam cermin ini, memang aku selalu kalah telak dibanding Sam.
“Kau lihat?” tanya Sam. “Aku memang pantas menjadi kepala Administrasi, kan?”
Aku hanya diam, tidak berargumen.
“Ayolah, James..” ucapnya dengan nada merengek. “Berikan dokumen ini kepadaku. Biarkan aku yang menempati posisi itu. Ya?”
Aku masih belum memberikan jawaban. Entah karena sangat kesal sebab merasa dimanfaatkan atau.. Tunggu, dimanfaatkan?! Aku berbalik menghadap Sam. “Kau memanfaatkan aku?”
Sam cukup terkejut ketika mendengar ucapanku. Tetapi sedetik kemudian ia tersenyum, lalu membalikkan badan, memunggungiku. “Sudah sadar rupanya? Kau tahu kalau aku hanya berteman dengan kalangan elit saja. Dan aku berteman denganmu karena aku tahu kau sangat pintar, bahkan jenius. Secara kebetulan kita bekerja di perusahaan dan bidang yang sama. Sayang sekali jika teman tidak dapat membantu apa yang kita cita-citakan. Bukankah pertemanan diciptakan untuk saling membantu satu sama lain?”
Aku tidak bisa mengatakan apapun. Sam benar-benar sudah keterlaluan. Semua ucapan sampah yang biasa kugunakan untuk mencaci orang, tidak berarti lagi jika dihadapkan dengan Sam yang sekarang. Aku bisa merasakan otakku meluap-luap, otot-otot di kedua tanganku mengamuk dan ingin menggerakkan tanganku untuk memukulnya. Tetapi aku menahannya dengan memasukkannya ke dalam kantung mantel.
“James. Jangan tersinggung. Tetapi kau tahu, orang sepertimu tidak pantas jika menjadi kepala Administrasi. Kau sudah melihat dirimu di dalam cermin. Kau terlalu pendek, tidak punya teman, yah.. kurang bergaul dan....”
Spontan aku membalikkan tubuhnya, mencabut senjata yang aku bawa dari kamarnya dan menancapkannya ke tubuhnya. Sehingga Sam berhenti berceloteh dan terbaring di atas ranjang, mengerang. Aku membalikkan badan, menatap cermin. “Sam, memang cermin merefleksikan kenyataan. Tetapi dia selalu terbalik. Sehingga aku yang lebih pantas menempati posisi itu, meskipun aku terlihat serba kekurangan di depan cermin. Dia menampakkan kenyataan dan kebalikan secara bersamaan, Sam. Kurasa kau harus belajar fisika lagi.”
-END-