CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 30 Juli 2012

Cerpen - Mirror

MIRROR

Bulu kudukku sontak berdiri ketika menyusuri lorong di lantai 2. Dinding-dindingnya kusam dan tak terawat menambah beban pikiranku yang sudah penuh dengan berbagai bentuk makhluk mengerikan. Kalau bukan karena ingin menuntaskan dokumen-dokumen kerjaku yang sudah dikejar deadline, aku pasti tidak akan berada di sini, berjalan sendirian ditemani dengan sebuah lentera yang bensinnya hampir habis. Lantai yang terbuat dari batu kali ini terasa seperti lempengan es. Aku berani bertaruh bahwa tidak akan ada penyewa kamar lain yang berani menggesekkan telapak kakinya di atas lantai.

Langkahku terhenti ketika kakiku teratuk sesuatu. Dengan cepat kuarahkan lentera ke bawah. Kedua alisku terangkat. Ternyata sebuah lentera tergeletak di lantai dengan bensin yang berceceran, mungkin karena tak sengaja kutendang tadi. Aku duduk jongkok dengan kepala yang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan. Siapa yang ceroboh atau dengan sengaja meletakkan lentera di tengah jalan? Ketika kupegang lentera itu, ternyata lentera itu masih hangat. Berarti ada satu atau dua orang yang melewati lantai ini sebelumku. Pencuri? Perampok?! Atau pembunuh berdarah dingin?!

Lentera yang kupegang bergoyang-goyang seirama dengan tubuhku yang gemetaran. Sebisa mungkin kuyakinkan diriku bahwa lentera ini milik penyewa kamar lainnya. Ya, pasti lentera ini milik salah satu diantara mereka. Karena tidak mungkin ada pencuri atau perampok yang ingin mencari nafkah di sebuah penginapan tua yang berisi lima pegawai honorer, satu pegawai negeri, dan sepasang nenek dan cucu, pemilik penginapan. Sungguh mustahil.

Kutegakkan tubuhku, lalu berusaha berjalan mantap ke depan, dan mencoba melupakan apa yang baru saja ketemukan. Ketika keberanianku mulai memuncak, tiba-tiba dari arah belakang seseorang berlari dan menabrak pundakku. Spontan aku berteriak dan mengarahkan lenteraku ke arah larinya orang itu. Seketika aku terbelalak. Orang itu menuju kamar yang kusewa sebagai tempat mengerjakan dokumen-dokumen pentingku.

Sedetik kemudian aku sudah berada di dalam kamar dengan nafas yang tersengal-sengal. Kelopak mataku terbuka lebar. Jantungku berdegup tak karuan. Ada yang tidak beres disini. Aku tahu itu. Memang semua barangku masih berada di tempat semula. Tetapi orang yang baru saja masuk ke kamar ini, tidak kutemukan.

Kamar yang kusewa memang tidak begitu lebar tetapi memiliki bentuk ruangan yang unik, yaitu berbentuk L. Ketika pintu terbuka, ada satu lemari lebar buatan German tahun 70an yang akan menyambut. Lalu ada satu set meja kerja yang tak kalah tua dari lemari yang tepat berada di sampingnya. Bila masuk lebih dalam, maka akan ditemukan sebuah meja rias dengan kaca besar yang dibingkai ukiran yang cantik, tetapi sudah termakan usia. Berhadapan dengan meja rias, terdapat ranjang yang muat untuk 2 orang. Lokasi ranjang ini tepat di garis pendek huruf L. Hal ini membuatnya menjadi tempat favoritku jika sedang suntuk mengerjakan pekerjaanku.

Dengan semua keberanian yang kukumpulkan, aku berjalan menyusuri kamar dengan langkah hati-hati dan lentera yang siap kujadikan senjata jika orang itu menyergapku. Ketika melewati meja kerja, kulihat map tempat yang kugunakan untuk menyimpan dokumen yang akan dikirim besok lusa, terbuka. Pikiranku melayang menuju ke segala spekulasi. Apakah orang itu menginginkan dokumenku? Mengapa? Ini tidak masuk akal. Tetapi ketika aku berjalan menuju ranjang, jantungku kembali dikejutkan dengan hal yang lebih tidak masuk akal. Sam, teman baikku, tengah terlentang di ranjangku dengan pisau yang tertancap di dadanya.

Aku mundur beberapa langkah. Pundakku naik turun dengan cepat. Otakku tidak mampu memberikan keterangan apapun tentang kejadian ini. Ini terlalu mendadak. Dan aku tidak siap untuk semua ini. Kembali kuperhatikan Sam yang sudah tak bergerak sama sekali. Dari jarak yang agak jauh, dapat kulihat wajah garang Sam yang seolah sebelum kematiannya sempat melawan pembunuhnya. Tetapi ketika melihat pisau yang masih menancap di tubuh Sam dan darah segar yang terpeta di sekitarnya, membuatku tidak tega dan memutar tubuhku sambil memejamkan mata. Ketika kubuka kembali kelopak mataku, seseorang berdiri di hadapanku. Ia berlumuran darah dan tangan kanannya memengang pisau yang sama seperti pisau yang tertancap di tubuh Sam. Tetapi ketika kuperhatikan dengan lebih teliti, ada bingkai disekeliling orang itu. Wajahnya terlihat sungguh familiar. Ekspresinya terkejut, sama denganku.

Segera kuacungkan lenteraku padanya, dengan harapan agar ia takut. Sayangnya, belum sempat aku menakutinya, aku sudah ketakutan lebih dahulu. Lenteraku hilang, atau lebih tepatnya, tertukar. Tertukar dengan pisau itu. Sekali lagi kuberanikan diri untuk melihatnya. Kali ini aku mengenalinya. Aku sering melihatnya dengan baju tidur yang bergaris-garis itu. Aku juga sering melihatnya dengan rambut coklat yang acak-acakan. Aku sering melihatnya di cermin.

Kepalaku menunduk semakin dalam. Tidak berani melihatnya lagi. Ini pasti mimpi. Tidak mungkin aku yang melakukannya. Tetapi darah yang tertempel di baju tidurku, membuat pengakuanku tidak berarti. Kemungkinan besar, ketika mayat Sam ditemukan besok, aku pastilah yang menjadi tersangka utama. Aku pasti menjadi bual-bualan publik. Namaku pasti akan tercemar. Keluargaku, temanku, kolegaku, semuanya pasti akan menjauhiku. Dan yang paling pasti, aku akan dipecat, dan semua usaha yang sudah kulakukan selama ini untuk naik pangkat akan sia-sia.

Sejenak kepalaku seperti ditusuk dengan ribuan paku. Ini gawat. Sakit kepalaku akan kambuh lagi. Saat aku sibuk dengan memijat kepala, tiba-tiba bahuku dicengkram kuat. Kulirik sesuatu yang mencengkram bahuku. Betapa kagetnya aku ketika mengetahui bahwa yang mencengkram bahuku adalah tangan yang berlumuran dengan darah. Begitu ekor mataku mencapai sosok yang memiliki tangan tersebut, bulu kudukku langsung berdiri.

“S..Ss..Sam?” ucapku terbata-bata.
Sam tersenyum mengerikan. “Biar kuambil apa yang telah kau ambil dariku.”

Seluruh badanku berguncang. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tetapi aku tidak punya nyali untuk bertanya pada Sam yang sekarang telah menjadi hantu, zombie, atau apapun itu. Ini mengerikan. Sam tiba-tiba mengambil pisau yang ada di tangan kananku. Ia menyeringai padaku, sebelum tangan kanannya yang menggenggam pisau, naik ke atas dan turun dengan cepat ke arahku.

“AAAAAAAAARRRRRRGGGHHH!!!”

Kelopak mataku terbuka lebar, jantungku melompat-lompat tak karuan. Spontan tanganku meraba ke seluruh tubuh, mencari pisau. Nihil. Pisau itu tidak ada. Kuangkat kepalaku dan melihat sekeliling. Tidak ada lemari tua buatan German, meja tua itu juga lenyap, lalu meja rias dan ranjangnya pun ikut menghilang. Sam? Sam juga tidak ada disini. Dimana dia? Aku turun dari ranjang, memakai mantel coklatku, kemudian keluar dari kamar.

Hanya ada dua lentera yang menyinari lorong lantai 1. Aku mengambil salah satunya untuk peneranganku saat berjalan ke kamar Sam yang ada di lantai 2. Tangga kayu berderit saat kakiku menginjaknya. Betapa tuanya bangunan ini, pikirku. Begitu sampai di lantai 2, aku berbelok ke kiri, lalu mengetuk pintu kedua dari ujung dan meletakkan lenteraku diseberang kamar Sam sambil menunggu jawaban. Karena tidak ada jawaban dari dalam, aku segera memutar knop, dan membuka pintu. Ini memang salah satu kebiasaan buruk Sam, tidak mengunci pintu. Cahaya dari lilin yang tinggal setengah memberikan pengelihatan padaku bahwa Sam sedang tidak ada di kamarnya. Kamar Sam kosong.

Aku mendekat ke meja kecil di dekat ranjangnya. Ada 2 buah apel yang belum dikupas dan sebilah pisau kecil. Melihat pisau itu, aku jadi teringat dengan mimpi yang baru saja terjadi. Kuambil pisau itu dan mengamatinya.

Bunyi pintu yang berderit mengalihkan perhatianku. Dengan terburu-buru, aku segera keluar dari kamar Sam. Saat lentera yang kutinggalkan di seberang kamar Sam, ingin kuambil, lentera itu sudah tergeletak di lantai, dan bensinnya tercecer. Melihat semua kejanggalan ini, aku segera berlari menuju kamar lain yang kusewa di lantai ini.

Begitu sampai di depan pintu, aku merogoh kantung mantel sebelah kiri, dan mengambil kunci. Ketika hendak memasukkan kunci ke lubangnya, tiba-tiba pintu terbuka. Cahaya lilin berhambur keluar, menyilaukan mataku untuk beberapa saat. Begitu aku bisa melihat, seseorang sedang duduk di hadapanku dan membaca kertas dokumen yang kusimpan di dalam map.

“Sam? Apa yang kaulakukan? Kenapa kau membaca dokumen-dokumenku?”
Sam berdiri, lalu berbalik dan menatapku. “Penelitianmu sangat bagus, James. Dan tidak diragukan lagi kau akan naik pangkat berkat ini. Hanya saja belakangan ini aku berpikir bahwa kau tak pantas menerimanya.”
Ada cambuk kedongkolan yang memecut hatiku. “Apa maksudmu?!”

“Ya.. aku merasa kau kurang berani, kawan. Bagaiman bisa kau menjabat sebagai kepala administrasi jika kau tidak punya keberanian? Keberanian memutuskan, misalnya,” jawab Sam sambil berjalan menuju meja rias dan menatap refleksi dirinya sambil tersenyum. “Ah, ketika menatap cermin ini aku menyadari satu hal. Aku pastinya pantas menjadi kepala Administrasi.”
“Sam, kau tau aku sangat menginginkan jabatan itu. Jadi kembalikan dokum...”
“Ah, James, kemarilah,” ajaknya. “Eh, apa yang kau bawa itu? Di tangan kananmu.”

Jujur, aku sendiri kaget dengan apa yang dibawa tangan kananku. Pastilah tadi aku tidak sadar, sehingga membawanya keluar dari kamar Sam menuju kemari. “In..ini bukan apa-apa,” jawabku sambil memasukkannya ke dalam kantung mantel.

Sam mengangkat alisnya. “Oh..” responnya. “Hei James, kemarilah!”

Aku menuruti permintaannya dan berdiri di depannya, menghadap cermin. Aku melihat refleksi kami berdua. Sam yang notabene lebih tinggi dari pada aku, terlihat sangat menonjol dengan balutan mantel biru dongker kebanggaannya. Jika dillihat dari segi manapun di dalam cermin ini, memang aku selalu kalah telak dibanding Sam.

“Kau lihat?” tanya Sam. “Aku memang pantas menjadi kepala Administrasi, kan?”
Aku hanya diam, tidak berargumen.
“Ayolah, James..” ucapnya dengan nada merengek. “Berikan dokumen ini kepadaku. Biarkan aku yang menempati posisi itu. Ya?”
Aku masih belum memberikan jawaban. Entah karena sangat kesal sebab merasa dimanfaatkan atau.. Tunggu, dimanfaatkan?! Aku berbalik menghadap Sam. “Kau memanfaatkan aku?”

Sam cukup terkejut ketika mendengar ucapanku. Tetapi sedetik kemudian ia tersenyum, lalu membalikkan badan, memunggungiku. “Sudah sadar rupanya? Kau tahu kalau aku hanya berteman dengan kalangan elit saja. Dan aku berteman denganmu karena aku tahu kau sangat pintar, bahkan jenius. Secara kebetulan kita bekerja di perusahaan dan bidang yang sama. Sayang sekali jika teman tidak dapat membantu apa yang kita cita-citakan. Bukankah pertemanan diciptakan untuk saling membantu satu sama lain?”

Aku tidak bisa mengatakan apapun. Sam benar-benar sudah keterlaluan. Semua ucapan sampah yang biasa kugunakan untuk mencaci orang, tidak berarti lagi jika dihadapkan dengan Sam yang sekarang. Aku bisa merasakan otakku meluap-luap, otot-otot di kedua tanganku mengamuk dan ingin menggerakkan tanganku untuk memukulnya. Tetapi aku menahannya dengan memasukkannya ke dalam kantung mantel.

“James. Jangan tersinggung. Tetapi kau tahu, orang sepertimu tidak pantas jika menjadi kepala Administrasi. Kau sudah melihat dirimu di dalam cermin. Kau terlalu pendek, tidak punya teman, yah.. kurang bergaul dan....”

Spontan aku membalikkan tubuhnya, mencabut senjata yang aku bawa dari kamarnya dan menancapkannya ke tubuhnya. Sehingga Sam berhenti berceloteh dan terbaring di atas ranjang, mengerang. Aku membalikkan badan, menatap cermin. “Sam, memang cermin merefleksikan kenyataan. Tetapi dia selalu terbalik. Sehingga aku yang lebih pantas menempati posisi itu, meskipun aku terlihat serba kekurangan di depan cermin. Dia menampakkan kenyataan dan kebalikan secara bersamaan, Sam. Kurasa kau harus belajar fisika lagi.”

-END-

MANNAQUIN'S (6th)


MANNAQUIN’S (6th)
“Semuanya berantakan!”

###

“Kean? Kau sedang apa?”

Suara Rhin membuat kelopak mataku kembali terbuka. Aku sempat berkedip tiga kali sebelum akhirnya aku menyeret seluruh tubuhku menjauh darinya. Kedua tanganku meremas sofa dengan kuat. Aku yakin wajahku pasti sudah semerah kepiting rebus!

“Kean?”

Aku menatap wajahnya tanpa berkedip. Begaimana bisa dia setenang itu?! Dia bahkan seperti tidak merasakan gejolak emosi atau sejenis itu atau.. Entahlah! Yang jelas dia tidak merasakannya!

“Kau tadi sedang apa? Kenapa hidungmu bisa menempel di hidungku?”

Aku berusaha bersikap senormal mungkin. Tetapi tetap saja terlihat dibuat-buat. Aku memalingkan wajah, kemudian mengatur nafas sekaligus merapikan detak jantungku yang morat-marit.

“Kean?” panggil Rhin, lagi.
“Ak..Aku hanya.. ingin melakukan.. tes panjang hidung,” jawabku, sekenanya. “Ya, aku mengukur panjang hidungmu.”
“Benar begitu? Ehm, kalau begitu, berapa panjang hidungku?”

Sebelum bertemu dengan Rhin, aku tidak tau berapa kapasitas dari kantung kesabaranku. Aku baru mengetahui bahwa kantung kesabaranku memiliki kapasitas yang cukup besar untuk meredam semua tingkah laku Rhin yang benar-benar polos atau tidak peka. Oh, God.. Semoga ada lebih banyak kantung kesabaran cadangan untukku.

“Satu meter!” jawabku.
“Satu meter? Waw!” serunya sambil meraba hidung.
“Kami pulang!”

Kulihat Merry dan Karin memasuki ruang tengah. Keduanya membawa kantung belanjaan, masing-masing satu. Merry berjalan mendekat ke arah sofa, kemudian duduk di antara aku dan Rhin. Kemudian dia menyerahkan kantung belanjaannya kepadaku.

“Ini keperluanmu!” serunya.
“Cepat sekali pulangnya,” gumamku.
“Memangnya kenapa?” tanya Karin.
“Ah! Apa aku melewatkan sesuatu?!” tanya Merry dengan nada antusias.
“Apa-apaan sih! Tidak ada apapun,” bantahku.
“Pasti ada apa-apa,” sahut Karin. “Ini sebabnya aku ingin cepat-cepat pulang. Aku tidak tau apa yang akan kau lakukan pada gadis sepolos Rhin.”
“Hei! Aku tidak me...”
“Benar! Apa lagi kalian tinggal satu atap!” teriak Merry. “Tunggu dulu.. Apa kalian pasangan kumpul kebo?”
Aku berdiri dari sofa, “Jangan berkata macam-macam! Hubungan kami tidak seperti apa yang kalian pikirkan! Mengerti?!”
“Kalau begitu. Bagaimana kalau kita tanya pada Rhin tentang apa yang terjadi? Setuju?”

Karin mengangguk. Aku menelan ludah. Tamat. Tamat! TAMAT! Tamat harga diriku di hadapan mereka jika Rhin mengakatakannya. Mereka pasti membuatku menjadi lebih risih dengan ocehan mereka.

“Rhin, apa yang Kean lakukan saat kami keluar?” tanya Karin.
Rhin menatapku sebentar, kemudian menjawab. “Kean mengukur panjang hidungku.”
“Mengukur panjang hidung? Dengan apa? Penggaris?” giliran Merry mengintrogasi.
Rhin menggeleng. “Bukan. Tapi dengan hidungnya. Jadi, hidung Kean menempel di hidungku.”

Merry dan Karin menatapku dengan tajam. Aku tau bahwa mereka lebih mengerti apa yang dikatakan Rhin. Mereka mungkin sudah bisa merekonstruksi kejadiannya di pikiran masing-masing. Dan sudah tidak bisa diragukan lagi, aku pasti tertangkap basah.

“Kean?” panggil mereka bersamaan. “Apa penjelasanmu?”
“Err.. Bukan salahku! Rhin menutup matanya dan hal itu terjadi begitu saja! Aku juga tidak jadi melakukannya! Jadi tanyakan pada Rhin, kenapa dia menutup mata,” seruku.

Rhin tampak kebingungan. Dia melirik ke arah Merry berkali-kali. Ah! Pasti ini semua ulah Merry! Janji itu! Pasti! Merry pasti menyuruh Rhin untuk menutup mata ketika berada di dekatku. Ini memang jebakan!

“Sudahlah!” teriakku. “Rhin, jangan sekali-kali melakukannya lagi! Apalagi karena Merry!”
“Bagaimana kau tau?” tanya Rhin.
“Hei, Kean. Kalau kau ingin menyalahkan seseorang, salahkan aku. Jangan salahkan Rhin,” ujar Merry.
“Aku memang menyalahkanmu!” teriakku. “Aku akan pergi tidur dan jangan ganggu aku!”

###

Belum cukup dengan semua kejadian kemarin, Karin dan Merry seperti ingin menyiksaku lebih lama lagi. Pagi hari saat aku akan berangkat ke kantor, mereka menyeretku masuk ke dalam kamar dan menyuruhku berganti pakaian. Memang, saat itu aku hanya memakai kaos polo dan celana jeans. Tetapi aku berencana berganti pakaian di kantor, aku punya beberapa setel kemeja dan jas di sana.

“Kau gila?! Mana ada direktur yang pergi ke kantor dengan kaos dan jeans!” pekik Merry.
“Kean, kau parah! Biar aku ambilkan jas milik ayahmu dulu,” ucap Karin, kemudian menuju lemari dan mulai mengobrak-abrik isinya.
“Kean, selera pakaianmu benar-benar buruk,” komentar Rhin.
“Aku punya beberapa setel pakaian di kantor. Aku akan ganti disana!” teriakku. “Dan, Rhin, kenapa kau juga ikut-ikutan mereka?!”
“Aku berkata jujur,” jawab Rhin.

Baiklah.. Aku menyerah. Dua lawan satu tidak seimbang. Apa aku perlu pengacara untuk melepaskan diri dari rumah ini?! Tolong, bagi siapapun yang mendengar ratapanku ini, aku benar-benar butuh pengacara atau tim SWAT! Jadi panggilkan mereka!!

“Ini jas ayahmu,” ujar Karin sambil memberikan jas hitam dengan model paling simpel yang pernah kulihat. “Masih bagus, setidaknya untuk usia jas yang menginjak 20 tahun.”

Aku segera memakai jas itu, dan ukurannya pas. Kulihat Karin tersenyum sambil menatapku. Merry dan Rhin melakukan hal yang sama, Baiklah.. Apa saat ini aku terlihat tampan di mata mereka?

“Kau benar-benar mirip ayahmu,” ucap Karin.
“Aku setuju,” sahut Merry. “Apa lagi tatanan rambut dan mata hitamnya. Mirip sekali.”
“Keren!” pekik Rhin sambil mengacungkan jempol.

Aku mundur selangkah dan memalingkan wajah. Bukan hanya untuk menghindari tatapan manis mereka yang membuatku ngeri. Tetapi aku juga menghindar agar mereka tidak melihat wajahku yang mungkin sudah menyamai warna mobil pemadam kebakaran.

“Kalau begitu aku berangkat,” ucapku.
“Perlu diantar?” tanya Karin.
“Tidak usah repot-repot. Aku sudah memanggil taxi,” jawabku.

Aku melangkah keluar rumah. Taxi pesananku sudah menunggu di depan rumah Karin. Aku masuk ke dalamnya dan mengatakan tujuanku, kemudian duduk santai sambil memperhatikan jas yang kupakai.

Jas ini berumur sekitar 20 tahun. Yang membuatku heran adalah dalam jangka sepanjang itu, mengapa Karin masih menyimpannya? Untuk kenang-kenangan? Mustahil. Mereka saling membenci semenjak bercerai. Bahkan setiap bertemu, mereka saling membuat tembok atau pura-pura buta.

Kurasa aku tidak harus berpikir sekeras ini. Mereka sudah bercerai dan masalah terselesaikan. Motif lain seperti Karin masih mencinai Ayah, sepertinya harus kubuang jauh-jauh. Bukannya aku tidak mempercayainya, tetapi karena keadaan sudah berubah. Ayah sudah bersama dengan wanita lain. Meskipun Karin masih mencintainya, dia tidak bisa merubah apapun. Dan kupikir mereka memang tidak akan pernah rujuk.

Tak lama kemudian, taxi berhenti tepat di depan gedung perusahaanku. Aku membayar taxi itu, kemudian keluar dan melangkah masuk ke dalam gedung. Tidak ada yang aneh dengan sikap karyawanku. Meskipun alis mereka sedikit terangkat saat melihatku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Tetapi hawa yang lebih menyeramkan menyebar di dalam lift. Ada dua tiga karyawan yang berbisik di belakangku. Kurasa bukan karena penampilanku. Aku mencoba mencuri dengar. Mereka mengatakan kata ‘Korupsi’. Aku tau sesuatu pasti sedang terjadi.

Begitu aku sampai di lantai 5, ruanganku. Sekertarisku menyambut dengan tergopoh-gopoh. Dia membawa beberapa berkas dengan wajah pucat pasi. Pasti masalah yang serius. Kantor cabang bangkrut? Atau ada investor yang menarik investasinya?

“Tuan, gawat!”
“Ada apa? Masalah apa lagi yang muncul?”
“Tuan, maaf.. Anda dituduh mengkorupsi dana perusahaan.”
Aku terdiam sesaat. “Apa semua berkas itu berkas-berkas tuntutan?”
Sekertarisku mengangguk. “Bukan hanya itu, Tuan. Ada juga berkas untuk pengajuan pemecatan bagi semua karyawan  yang memiliki koneksi dengan anda.”
“Oke.. Bawa semua berkas itu ke dalam ruanganku,” perintahku.
“Baik, Tuan.”

Aku tau, ini permainan Riku. Aku sudah menantinya dan ini saatnya untuk bertarung lagi dengan Riku. Kali ini aku tidak akan kalah. Karena aku masih memiliki kartu andalanku untuk kubuka pada waktu yang tepat.

###

Dari sekali pandang, aku mungkin bisa dikatakan sebagai bos yang ringan kaki, pergi ke sana ke mari dengan leluasa. Tetapi bagi yang melihatku dengan seksama, aku selalu membawa satu tas jinjing dan satu kardus berisi berkas-berkas. Aku tidak tahan bekerja di kantor. Bukan karena kantorku kurang keren. Aku hanya perlu suasana rumah untuk menyelesaikan masalah kantor. Aku tau, itu tidak masuk akal.

Suasana kantor terasa seperti neraka bagiku. Baru 2 jam aku duduk menghadap meja kerjaku, aku sudah merasa tidak tahan. Berkas-berkas tuntutan berdatangan hampir di setiap menit. Tanpa pikir panjang aku segera merapikan semua berkas-berkas itu, lalu memasukkannya ke dalam kardus. Hari ini aku membawa lebih banyak kardus. Ada tiga kardus.

Aku meletakkan keiga kardus itu di atas troli, kemudian mendorongnya keluar ruangan. Aku berpesan kepada sekertarisku apabila masih ada berkas yang datang, aku akan mengambilnya besok. Kecuali berkas itu benar-benar mendesak, dia harus mengirimkannya ke apartemenku.

Aku mendorong troliku menuju lift. Seperti saat aku menuju kantor, semua mata tertuju padaku. Aku tau isi pikiran mereka, tetapi aku tidak terlalu peduli dengan itu. Meskipun mereka orang-orang kepercayaanku, tetapi mereka tetap manusia. Mereka pasti punya sisi lain yang tidak ditunjukkan padaku.

Sebuah taxi sudah menungguku di depan gedung. Aku dilarang menggunakan fasilitas perusahaan untuk sementara waktu. Yap, dengan kata lain aku sedang diskors. Tetapi tenang, selama satu minggu ke depan aku masih bisa datang ke kantor untuk menyelesaikan beberapa hal.  Dan aku akan memanfaatkannya untuk membalikkan keadaan.

Aku masuk ke dalam taxi, kemudian menunjukkan alamat apartemenku. Baru beberapa menit, aku mengubah tujuanku. Hikari. Setidaknya aku ingin mengunjunginya. Saat terakhir kali aku bertemu dengannya, kemarin, dia menunjukkan kemajuan yang bisa dibilang sangat baik. Setidaknya dia bisa menyebut namaku.

Tak bisa kupungkiri bahwa aku penasaran dengan apa yang terjadi pada Hikari. Nyonya Tsuki pernah mengatakan bahwa kemungkinan Hikari sembuh sangat sedikit. Apalagi untuk berbicara, mustahil.

Taxi yang kutumpangi berhenti mendadak, membuatku hampir teratuk kursi depan. Dan yang paling mebuatku jengkel, sopir taxi ini tidak mengucapkan kata maaf. “Rumah sakit,” ucapnya.

Dengan enggan aku keluar dari taxi. “Tunggu disini. Aku akan kembali.”
“Baik.”

Pada akhirnya aku tidak mengambil pusing. Aku sudah cukup pusing dengan permasalahan yang datang kepadaku dengan suka rela, walaupun aku tidak rela. Apa kita tidak bisa memilih masalah yang ingin kita hadapi? Seandainya bisa, aku akan memillih.. Hmm.. Apa ya? Kurasa tidak ada masalah yang lebih baik dari pada masalah lain. Masing-masing mempunyai level tersendiri.

Aku hampir sampai di taman Rumah Sakit. Kulihat dari kejauhan, Hikari sedang duduk di samping Kyo. Dengan refleks aku membalikkan badan dan bersembunyi di balik tiang penyanggga lorong. Aku tidak bisa menemui Hikari jika ada Kyo. Dia pasti ingin membalas pukulanku kemarin.

“Kean?”
Aku meoleh, “Rhin? Kenapa bisa di sini?”
Rhin berjalan mendekat ke arahku, “aku ingin menjenguk Hikari. Bibi yang mengantarku.”
“Sekarang masih belum bisa menjenguknya,” ujarku. “Kyo masih di sana.”
Rhin melongok ke arah taman. “Mana? Hikari sendirian.”
“Oh ya?”

Aku berbalik. Dan memang Hikari sendirian lagi. Kyo sudah tidak ada. Ini kesempatan yang baik. Aku segera menoleh ke arah Rhin, ingin mengajaknya.Tetapi dia sudah berlari menuju Hikari. Dengan sedikit kecewa, aku berjalan menyusulnya.

Kulihat Rhin memeluk Hikari dengan gembira. Ketika aku berada di hadapannya, Hikari mendongak. Dia menatapku, kemudian tersenyum. Dengan agak canggung, aku membalas senyumannya. Tetapi sedetik kemudian, Hikari menutup matanya, lalu hampir terjatuh. Beruntung, aku dan Rhin segera menangkapnya.

“Hikari? Hei, bangun!” teriakku.
“Hikari! Banguun! Hikari! Kean. Apa yang harus kita lakukan?”
“Kita bawa ke kamarnya.”

Aku membopong Hikari hingga menuju kamarnya. Rhin mengikutiku dari belakang bersama suster yang ia seret secara paksa. Ketika pintu kamar Hikari dibuka, aku berhenti sejenak. Kyo ada didalam, sedang mengupas apel. Aku mencoba tidak mempedulikannya, dan langgung membaringkan Hikari di atas kasurnya.

“Apa yang terjadi?” tanya Kyo.
“Dia pingsan,” jawabku.
“Maaf, aku yang bersalah,” ucap Rhin. Dia masih berada di ambang pintu, tidak berani masuk.
“Oh, kau lagi?” respon Kyo.
“Sudahlah, bukan salahnya,” ujarku.
Kyo menatapku sinis. “Lalu salahmu?? Hei, apa tidak bisa, sekali saja dalam hidupmu, tidak membuatnya menderita?!”
“Apa maksudmu?!”
“Kau pikir aku tidak tau?! Kau...”
“Hei!” teriak suster. “Kalau kalian ingin bertengkar, jangan di sini. Cepat keluar!”
“Mereka saja yang keluar,” ucap Kyo sambil menunjukku.
“Oke. Permisi.”

Aku melangkah keluar. Ketika sampai di ambang pintu, aku berbisik kepada Rhin. “Sudahlah.. Hari ini cukup sampai di sini. Aku akan menelpon Karin untuk menjemputmu.”

“Kean? Apa aku terlihat bodoh?” tanyanya.
Sambil menggandeng tangannya, aku menjawab. “Tidak. Dia yang benar-benar bodoh kerena mendepakmu begitu saja.”

###

Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain membaca setiap berkas yang sudah menggunung. Kebanyakan, berkas-berkas itu berisi tuntutan agar aku mundur dari jabatanku. Tetapi ada juga yang menginginkanku tetap bertahan sampai kasus ini sudah dipastikan kebenarannya. Tentu saja jumlah tuntutan seperti itu hanya sedikit, satu berkas.

Baru dua kardus berkas yang sudah kubaca. Tetapi hanya satu berkas yang menarik perhatianku. Berkas ini berasal dari orang kepercayaan Riku. Namanya Cris. Dokumen ini tidak memiliki cacat. Semua angkanya mengandung bukti. Sehingga tidak ada yang ragu bahwa data ini asli. Kecuali aku, tentunya.

Aku meletakkan berkas Cris, kemudian berjalan menuju pintu. Ada seseorang yang mebunyikan bel. Ketika aku mengintip melalui celah kecil yang ada di pintu, ada seorang wanita dengan rambut blonde yang berdiri sambil membawa bungkusan bekal. Dengan malas, aku membukakan pintu untuknya.

“Apa maum...”

PLAK!
Aku memegang pipi kiriku. Rasanya benar-benar panas dan sangat sakit, tentunya. Aku menatapnya dengan mata yang terbuka lebar. “APA SALAHKU?!!”

PLAK!
Giliran pipi kananku yang terkena musibah. Aku memegang kedua pipiku, kemudian mundur selangkah, takut hal yang tidak kuinginkan kembali terjadi. “MERRY! APA YANG SALAH?!”

“Kean, kau benar-benar bodoh! Oh, bukan.. APA KAU TIDAK PUNYA OTAK?!”
“HOI, MEMANGNYA APA SALAHKU?! KAU MENAMPARKU! DUA KALI!”
“DASAR BODOH! KENAPA KAU MEMPERTEMUKAN RHIN DENGAN WUJUD MANUSIANYA?!”
Aku terdiam. “Ba..bagaimana bisa kau tau?”
“Apa kau pikir aku tidak tau siapa Rhin? Dia manek...”

Dengan cepat, aku menarik Merry hingga masuk ke dalam ruanganku. Kemudian kututup pintu, dan menguncinya. Aku berbalik menghadap Merry. Aku bersiaga. Kedua tanganku mengepal kuat.

“Apa kau salah satu dari mereka? Jawab!”
Merry tersenyum simpul. “Mereka siapa? Mannaquin’s Freedom?”
“Ya, kau pasti salah satu dari mereka.”
Merry meletakkan bungkusan bekal di sofaku. “Bagaimana aku menjelaskannya ya? Hmm.. begini.. Aku sama seperti Rhin.”
Kepalan tanganku melonggar. “Maksudmu kau juga manekin? Bagaimana bisa? Itu tidak mungkin!”
“Kau perlu bukti?”
“Bukan.. kupikir tid...”

Aku terbelalak melihat perilaku Merry. Dia melepas mantelnya, kemudian mulai membuka kancing atasnya. Aku segera berlari menyambar mantelnya dan memakaikannya.

“SUDAH KUBILANG, AKU LAKI-LAKI BAIK-BAIK! PAKAI MANTELMU!”
Dengan enggan, Merry memakai mantelnya lagi. “Kau pikir aku tertarik padamu?!”
“Meskipun begitu, aku tidak mau orang lain salah paham!”
“Orang lain? Maksudmu Rhin?”
“Or..orang lain ya orang lain!” bantahku.
“Kean, apa kau tau? Kau sudah melakukan kesalahan besar,” ucap Merry sambil duduk di sofa.
“Apa maksudmu?”

“Jiwa manekin terbuat dari ingatan manusia yang ingin mewujudkan apa yang belum ia dapatkan. Ingatan ini tergantung pada hal yang belum ia dapatkan. Misalnya saat kau berumur 15 tahun, kau tidak bisa mendapat ranking 1. Kau menyesal, dan kau ingin mengulanginya sehingga kau bisa mendapatkan ranking 1. Jadi, ingatan yang ada didalam manekin hanyalah ingatan saat kau berumur 15 tahun. Dalam kasus Rhin, dia berumur 10 tahun.”

Mulutku terbuka lebar saat mendengar penjelasan Merry. Aku tidak pernah memiliki pemikiran seperti itu. “Bagaimana kau tau kalau Rhin berumur 10 tahun?”

“Aku memberikan soal-soal yang hanya bisa dikerjakan oleh seseorang dengan umur-umur tertentu. Rhin hanya bisa menjawab soal yang khusus untuk anak berumur 10 tahun.”
“Begitu rupanya.. Pantas kalau dia benar-benar polos,” ucapku. “Lalu bagaimana selanjutnya?”

“Kemudian manekin hanya membutuhkan jiwa pendonor. Fungsinya untuk menggerakkan seluruh badannya, menghidupkannya sehingga seperti manusia. Dalam hal ini, kaulah jiwa pendonor Rhin. Setelah jiwamu diambil, kau akan mati rasa dan mendapatkan tanda, seperti guratan kecoklatan di bagian tubuh yang terambil jiwanya. Sebetulnya kau tidak 100 persen mati rasa, kau hanya tidak bisa merasakan karena manekin yang mengambil jiwamu yang merasakan. Seperti saat kau tertembak. Rhin yang merasakan sakitnya.”

Kuraba lengan kiri atasku. Aku mengumpat dalam hati karena tidak menyadarinya dari awal. Seharusnya aku tertembak di bagian lain. Setidaknya bukan Rhin yang merasakan sakitnya.

“Ada beberapa peraturan yang tidak boleh dilanggar. Salah satunya, manekin tidak boleh bertemu dengan wujud manusianya. Kau pikir kenapa Hikari terlihat seperti orang yang tidak memiliki nyawa sebelum bertemu dengan Rhin? Apa dia selalu pingsan saat Rhin menyentuhnya?”
“Apa hal buruk akan terjadi?” tanyaku.

“Hikari seperti mayat hidup karena salah satu ingatannya diambil secara paksa. Rhin memiliki ingatan itu. Jika keduanya bersentuhan, maka Hikari akan menyerap ingatannya yang ada di dalam Rhin. Sentuhan pertama, Hikari akan menghisap 20 persen dari ngatan Rhin. Setelah itu, dia pasti mulai melakukan terobosan baru, berbicara atau tersenyum. Sentuhan kedua, mengambil 30 persen dari Rhin. Kau pasti sangat terkejut jika melihatnya, besok. Dia pasti terlihat sembuh total. Tetapi, sebenarnya..”
“Apa? Apa yang akan terjadi?!”
“Ambilkan aku minum dulu!” perintahnya. “Kau pikir sopan, menerima tamu tanpa menyuguhkan sesuatu?!”
“Nanti aku buatkan. Teruskan dulu ceritanya!”
“Kau ini! Cepat buatkan!”

Mau tidak mau aku segera pergi ke dapur dan mengambil minuman kaleng dari kulkas. Kurasa ini sudah cukup. Saat aku kembali, Merry menghilang. Aku menyisir segala penjuru, dan kutemukan pintu ruang kerjaku terbuka. Aku berjalan ke arahnya dan mendapati Merry sedang duduk di kursiku sambil memegang beberapa berkas.

“Kean, kau akan dipecat?”
“Itu urusanku,” jawabku. “Cepat minum dan lanjutkan ceritanya!”
“Oke..”
Merry menenggak habis minuman kaleng itu. Kemudian meletakkannya di dekat tumpukan berkasku. “Legaaa..”
“Sekarang lanjutkan ceritanya!”
“Oke..” ucapnya. “Hikari hanya akan bertahan selama 5 hari. Setelah itu dia akan koma selamanya. Sedangkan Rhin, dia bisa kehilangan kesadarannya selama beberapa menit. Kau akan tau bahwa hal itu bisa mematikan jika dia tidak sadar saat menyebrang jalan. Aku tidak pernah tau cara lain untuk keluar dari masalah ini.”

Aku menutup kedua mataku. Otakku berdenyut-denyut menyakitkan. Aku membuat kacau segalanya. Tidak ada yang bisa kulakukan. Seharusnya aku bertemu dengan Merry lebih cepat. Keadaaannya pasti tidak akan seburuk ini.

“Merry, apa yang harus kulakukan?”
“Sudah kukatakan, aku tidak tau caranya. Selama aku hidup, aku hanya melihat dua pilihan. Rhin yang mati, atau kau yang mati.”
“A..ap..apa maksudmu?”
“Pada umumnya, jika tugas selesai, manekin akan mati. Tetapi jika tugas tidak diselesaikan, ada beberapa aturan. Jika pendonor mati, manekin akan mati. Jika manekin mati, pendonor tetap hidup.”

Merry bangkit dari kursi, kemudian melangkah ke arahku dan menepuk pundakku. “Jadi, jika kau tidak ingin Rhin mati.. Jaga dia dan juga nyawamu.” ucapnya. “Aku pulang dulu. Sisa ceritanya, akan kuceritakan saat bertemu lagi. Oh ya, itu bekal buatanku. Kau harus memakannya. Kalau begitu, sampai jumpa.”

###

Aku tidak bisa tidur semalaman. Banyak hal yang kupikirkan. Terutama masalah Rhin dan Hikari. Bagaimana bisa aku menyelesaikan masalah mereka? Aku tidak ingin mereka berdua menderita. Apalagi kehilangan nyawa.

Apa tidak ada cara lain agar aku, Rhin, dan Hikari tetap hidup? Atau memang salah satu di antara kami harus kehilangan nyawa? Tunggu.. bukankah jika Rhin bisa menyelesaikan tugasnya, mereka berdua akan menghilang selamanya? Entah mengapa aku tidak ingin tugas itu selesai. Seandainya saja ada cara agar mereka bertahan.

“Sudah sampai, Tuan,” ucap supir taxi mengagetkanku.

Aku tersadar dari lamunanku, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku sudah berada di depan gedung perusahaanku. Aku mengeluarkan beberapa lembar uang dan memberikannya kepada sopir taxi, kemudian keluar.

Sekertarisku memberi pesan kepadaku agar tidak masuk melalui pintu depan karena sedang ada demonstrasi. Kupikir dia bercanda, ternyata benar. Keadaan di depan gedung perusahaan benar-benar kacau. Puluhan karyawanku berkumpul di depan gedung dengan membawa spanduk dan papan-papan dengan tulisan-tulisan menentang korupsi.

Terlintas di pikiranku, jika aku berjalan melalui para demonstran itu dengan santai, bisa jadi, aku tidak akan selamat. Pakaianku tercabik-cabik, atau wajahku penuh lebam, bahkan bisa jadi mereka akan memutilasiku! Tetapi tidak. Mereka tidak melakukannya. Setidaknya sampai 5 menit yang lalu.

Sebuah telur busuk mendarat dengan manis di kepalaku. Tak butuh waktu lama, puluhan telur sudah menghiasi tubuhku. Ditambah dengan tepung terigu, aku benar-benar siap untuk digiling menjadi adonan roti.

Aku tidak melawan. Karena pada kenyataannya aku hanya diam mematung, menunggu semua bahan-bahan pembuat roti itu sudah tidak dilempar lagi. Setidaknya hal ini dapat membuat mereka puas. Mereka pasti bangga karena sudah mempermalukan ‘koruptor’.

Beberapa detik kemudian, ponselku berdering. Melihat siapa yang menelponku, membuatku tersenyum. Bagaimana tidak? Dia yang akan menyelamatkanku dari semua ini.

“Bagaimana kabarmu?” tanyanya.
“Bodoh! Telur busuk dan tepung terigu. Kau ingin mencicipinya? Dengan suka rela aku akan berbagi denganmu.”
“Maaf, maaf.. kupikir kau tidak akan semenderita itu. Setidaknya kau tidak perlu bermuka dua.”
“Kau tau? Lebih baik aku bermuka dua daripada diempar telur busuk. Ini benar-benar busuk!”
“Hahaha.. bersabarlah sebentar. Kau tau, aku tidak akan mengecewakanmu.”
Aku tersenyum simpul, “setidaknya jangan terlalu lama. Kau tau, aku tidak suka menunggu.”
“Oke. Kalau begitu, sampai jumpa di hari kemerdekaanku.”
Sambil tertawa kecil, aku menjawab. “Sampai jumpa di hari kemerdekaan kita, Cris.”

###

Selasa, 24 Juli 2012

MANNAQUIN'S (5th)


MANNAQUIN’S (5th)
“Mati rasa”

###

Apa kalian tau bagaimana rasanya menjadi pahlwan kesiangan? Atau setidaknya, apa kalian pernah merasakan menjadi seseorang yang gagal meraih apa yang seharusnya dapat diraih? Marah, kecewa, dan mengumpat, merupakan beberapa hal yang akan kalian lakukan jika menjadi pahlawan kesiangan. Aku benar-benar merasakannya.

Aku tau, kakiku sudah melakukan tugasnya dengan baik. Hanya saja aku.. Aku yang kurang cepat menyadari bahwa Rhin dalam bahaya. Dan aku sangat memohon maaf kepada kakiku. Karena aku kembali membuatnya bekerja keras, bahkan lebih.

Mereka berada jauh di depanku. Mereka membawa Rhin dengan paksa. Tak jarang, kullihat mereka menyeretnya. Keterlaluan! Aku tidak akan memaafkan mereka untuk itu. Tetapi bagaimana caranya? Saat ini aku hanya berlari mengejar mereka dengan tangan kosong. Seharusnya aku punya senapan.

Mereka berlari melewati antrean permainan tembak kaleng. Permainan tembak kaleng? Permainan ini pasti menggunakan senapan! Tanpa pikir panjang, aku berlari menyerobot antrean terdepan dan mengambil sebuah senapan laras panjang. Yeah! Aku punya senapan!

“Walaupun mainan,” gumamku.

Aku kembali berlari membuntuti mereka. Kini mereka memutar arah menuju pintu masuk taman hiburan. Aku tidak mengerti apa yang mereka pikirkan. Mengapa mereka harus repot-repot kembali ke pintu masuk?

BRAK! BUM!
Mulutku terbuka lebar. Sekarang aku tau mengapa mereka menuju pintu masuk. Sebuah van hitam baru saja mendobrak pintu masuk dan berhenti di hadapan mereka. Itu pasti komplotan mereka! Kulihat Rhin dipasksa masuk ke dalam van, kemudian dua bodyguard itu ikut masuk ke dalam. Tak lama, van itu melaju kencang keluar dari taman hiburan.

“HOOOOI!!” aku berteriak sekencang-kencangnya. “Sial! Sial!”

Aku berhenti mengumpat ketika kulihat mobilku masih terparkir manis di depan pintu masuk. Tetapi ketika aku akan masuk ke dalam, ada sebuah kertas yang diselipkan di sela-sela pembersih kaca mobil. Setelah melihat isinya. Aku kembali mengumpat.

“Surat tilang?!”

Dengan adanya surat tilang, berarti, ban mobilku juga akan tertahan. Polisi-polisi menggunakan pengunci ban agar mobil yang terkena tilang tidak kabur. Dan hal ini adalah hal yang paling kubenci dari munculnya surat tilang.

Aku panik. Dan tanpa sadar aku sudah berada di tengah jalan sambil menodongkan senapan kepada pengemudi mobil di hadapanku. Aku berjalan mendekati pengemudi itu. Ujung senapan masih mengarah kepadanya.

“Keluar!” perintahku.

Baru ketika si pengemudi keluar dari mobil, dengan mudah, aku bisa menebak profesinya. Polisi. Polisi! Jadi saat ini aku sedang menodongkan senjata pada polisi! Menakjubkan!

“Berikan pistolmu!” perintahku,lagi.

Tanpa banyak bicara, polisi itu memberikan pistolnya. Ketika kulihat mimik wajahnya, ternyata polisi ini ketakutan. Lihat saja kedua alisnya yang terangkat, kelopak matanya yang melebar, dan bibir bawahnya yang digigit. Aku menggeleng pelan dan langsung masuk ke dalam mobil, lalu memacunya dengan kecepatan tinggi.

Baru beberapa menit berkendara, aku sudah bisa melihat van hitam itu. Dengan cepat, aku membawa mobil polisi ke samping van itu. Menyadari kehadiranku, pengemudi van itu mulai menjauhkan van dariku. Tidak kehilangan semangat, aku kembali mengejar. Aku meraba bangku sebelah dan mengambil pistol yang kurampas dari polisi tadi. Aku mengeluarkan lengan kiriku melalui jendela dan mulai membidik ban belakang van.

DOR!

“Geez! Meleset!”

Aku kembali membidik. Memang sangat susah untuk membidik target dalam keadaan mengemudi. Berbekal latihan bulananku bersama ayah di lapangan menembak dan keberuntungan yang tidak seberapa, aku menekan pelatuk.

DOR! TAR!

“KENA!” seruku senang.

Tetapi kesenanganku bubar seketika. Van itu kehilangan kendali, hinggga menabrak pembatas jalan dan terhenti ketika menabrak pohon. Aku segera menepi dan keluar dari mobil. Aku berjalan mendekat dengan tangan kiriku yang masih memegang pistol. Perlahan aku membuka pintu belakang van.

Segalanya tampak kacau. Dua bodyguard itu saling tumpang tindih. Kurasa mereka kehilangan kesadarannya. Sedangkan Rhin meringkuk di pojok. Dia baik-baik saja. Tetapi mungkin saja dia trauma. Aku masuk ke dalam dan dan langsung mengangkat Rhin, lalu memapahnya keluar.

“Kau tak apa?” tanyaku.

Rhin tidak menjawab. Dia hanya mengeluarkan sedikit suara seperti bunyi gigi-gigi yang saling beradu. Tubuhnya gemetar hebat. Dia ketakutan. Tentu saja, Rhin baru saja mengalami penculikan. Dan satu-satunya hal yang dapat kulakukan untuknya adalah membawanya keluar dari sini secepat mungkin.

DOR!
Aku berbalik. Salah satu bodyguard itu telah sadar. Dia bahkan sudah bisa menembakkan peluru. Aku segera menarik Rhin ke dalam dekapanku, kemudian berlari. Dan benar saja, setelah itu bunyi tembakan-tembakan berdesing ke arah kami.

Sesekali kuarahkan pistolku ke bodyguard itu dan melepaskan tembakan. Tetapi hal itu tidak membantu sama sekali. Kerena ketika aku menoleh, bodyguard lain telah pulih. Aku kalah jumlah. Dan lari, merupakan hal terbaik yang bisa kulakukan. Mobil polisi berada dua meter dari kami. Dengan semua sisa tenagaku, aku memapah Rhin sambil menembaki dua bodyguard itu.

DOR!
Itu peluru terakhirku. Dengan keadaanku sekarang, aku tidak dapat mengisi peluru. Segera kubuka pintu belakang mobil dan membaringkan Rhin.

DOR!
“Aaaaaarrrggghh!” tiba-tiba saja Rhin menjerit. Seperti kesakitan.

Aku segera masuk ke dalam mobil dan mulai menghidupkan mesin, lalu memacunya sekencang-kencangnya. Targetku hanyalah bisa pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Setidaknya sampai mereka tidak bisa mengejar kami.

“Aarrgghh,” rintih Rhin.

Kulirik Rhin. Dia memegang lengan kirinya kuat-kuat. Apa dia tertembak? Bagaimana ini? Apa aku perlu ke rumah sakit? Tetapi bagaimana kalau saat dokter memeriksa Rhin, rahasianya akan terbongkar? Tidak, kurasa tidak bisa.

“Sakit! Kean, sakit!” jeritnya.
“Tahan sebentar, Rhin. Sebentar lagi, kita sampai di rumah Karin.”

Ya, rumah Karin. Kupikir karena kejadian ini, rumahku tidak akan menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali. Jujur, aku tidak terlalu menyukai rencanaku ini. Tetapi mau bagaimana lagi. Rhin tertembak. Aku tidak mungkin bisa melakukan tindakan medis. Dan orang yang setidaknya bisa kupercaya dan memiliki kemampuan dalam dunia medis hanyalah Karin. Dia mantan perawat.

Beberapa menit kemudian kami berhasil sampai di depan rumah Karin tanpa membuat lebih banyak masalah dengan kedua bodyguard itu. Aku keluar dari mobi dan langsung membopong Rhin keluar menuju rumah Karin. Tanpa mengetuk pintu, aku langsung masuk ke dalam. Kubaringkan Rhin di atas sofa.

“Rhin, coba kulihat lukamu.”

Dengan sedikit enggan, Rhin melonggarkan remasan tangannya. Perlahan, kugenggam tangan Rhin, lalu mengangkatnya. Kusingkap lengan dressnya, dan refleks aku menutup mata. Lengan kiri atasnya berlubang. Persis seperti luka yang diakibatkan dari tembakan. Aku gagal melindunginya.

“Kean?”
Aku menoleh, “aku butuh bantuan,” ucapku pada Karin.
“Ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi? Ap.. Astaga!” pekiknya. “Kean, kenapa lenganmu berdarah?!”
“Apa?”

Karin mendekatiku. Dia memegang lengan kiriku dengan hati-hati. Lalu menyingkap lengan kemejaku perlahan. Dan ketika singkapan lengan kemejaku mencapai atas, aku melihat darah segar mengalir dengan mudahnya. Bahkan setelah aku melihat lebih jelas asal dari darah itu, aku malah makin terkejut. Bukan hanya Rhin yang mendapat luka tembakan di lengan kirinya, tetapi aku juga. Bagaimana mungkin aku tidak merasa kesakitan atau setidaknya merasa perih? Mungkin karena aku terlalu mengkhawatirkan Rhin. Ya, kurasa karena itu.

“Lukamu harus segera diobati!” seru Karin.
Aku menolak dengan melepaskan lenganku dari pegangannya. “Aku tidak apa-apa. Kau harus mengobati Rhin dahulu!”
“Biar aku yang mengobatinya!” seru suara di belakang Karin. “Lukamu lebih parah dan kau harus segera dirawat!”

Keninggku mengkerut. Sudah hampir 20 tahun aku tidak tinggal di rumah Karin. Setauku, Karin tidak tinggal dengan siapapun. Kecuali Riku, tetapi tidak lagi semenjak kasus pengalihan saham Karin kepadaku. Sekarang, ada orang lain di rumah Karin. Bukan saudara, kupikir. Dia berwajah tirus dengan rambut blonde sebahu, dan harus kuakui bahwa dia sangat menawan.

“Merry? Sejak kapan kau di situ?” tanya Karin.
Merry datang mendekat. “Baru saja,” jawabnya. “Kean, kau harus mengeluarkan peluru itu dari tubuhmu secepatnya kalau kau tidak ingin membuat Rhin menderita.”
“Da..Dari mana kau..”
“Kean, Merry benar. Cepat berbaring di kamar. Aku akan mengambil peralatan,” ujar Karin seraya menarikku masuk ke dalam kamar utama.

Dengan enggan aku beranjak. Tetapi kedua bola mataku tidak bisa terlepas dari Merry. Aku tidak mengerti apa maksud dari perkataannya. Bahkan dengan semua tanda tanya yang tertulis di wajahku, Merry hanya menjawabnya dengan satu senyuman simpul sebelum dia berbalik dan menghampiri Rhin.

###

Aku memperhatikan Rhin dari ambang pintu. Jujur, aku tidak berani masuk. Bukan karena ada Merry yang duduk di dekatnya, tetapi terlebih karena aku tidak sanggup melihat keadaannya. Dia terbaring lemah. Kedua matanya tinggal segaris. Dia benar-benar harus beristirahat. Tetapi yang kutau, Rhin tidak bisa tidur.

“Kean,” panggil Merry sembari menoleh ke arahku.
“Ya?”
Dia berdiri, lalu berjalan ke arahku. “Ada yang ingin kukatakan,” ujarnya saat berada di hadapanku.

Kulihat dia melewatiku, lalu berjalan lurus menuju ruang tengah. Kualihkan pandanganku kepada Rhin. Aku berharap dia segera pulih atau setidaknya dia bisa mengatakan padaku bahwa dia baik-baik saja.

“Kean?” panggil Merry, lagi.

Mau tidak mau, kulangkahkan kakiku ke arahnya. Merry berada di tengah ruangan. Kedua tangannya bersila di dada. Sambil menghentakkan telapak kakinya di lantai, dia menatapku.

“Ada apa?” tanyaku.
“Tidak ada. Aku cuma ingin melihatmu dari dekat,” jawabnya.
Aku membalikkan badan. “Jangan main-main denganku.”

Merry tertawa lepas. Aku melihatnya dengan ekor mataku. Dia benar-benar tidak bisa mengendalikan diri. Bahkan terlihat seperti tidak memiliki etika atau sejenisnya. Aku tidak tau bagaimana wanita seperti Merry bisa berada di rumah Karin.

“Kean, aku tidak pernah main-main.” tuturnya. “Well, aku memang sedikit bersenang-senang belakangan ini. Tetapi yakinlah aku tidak pernah bercanda dengan masalah ini.”
“Oke,” ucapku sembari berbalik. “Apa masalahny...”

Kelopak mataku terbuka lebar. Kuseret kakiku ke belakang. Hal ini sama sekali tidak kuperkirakan. Merry menghampiriku. Bukan masalah jika dia bersikap biasa saja. Tetapi yang jadi masalah, Merry menghampiriku sambil menatapku dengan tatapan yang.. Err.. menggoda, menurutku. Ini membuatku agak takut.

“Kean, apa kau tau?”
“A..ap..apa?” tanyaku sambil terus melangkah mundur.
“Apa kau benar-benar tidak mengerti?”
“Hah? Ap..apa maksudmu?”

Aku menelan ludah, grogi. Bagaimana tidak? Saat ini aku terjepit. Punggungku sudah membentur tembok dan aku tidak bisa berkutik lagi. Merry semakin mendekat. Dia bahkan sudah meletakkan tangan kanannya di pipiku.

“Apa kau merasa mati rasa?” tanyanya.
“Mat..mati rasa?”
“Sesuatu yang seharusnya kau rasakan. Tetapi kau tidak bisa merasakannya.”
“Ehm.. ku... APA YANG KAU LAKUKAN?!”

Aku mencengkram kedua tangan Merry. Dia tampak kaget. Tetapi tidak lebih kaget daripada aku. Kulirik kancing pertama dari kemejaku yang sudah terlepas. Apa-apaan dia?!

“Aku hanya ingin melihat bagian yang mati rasa. Apa aku salah?”
“Idiot!” pekikku. “Apa kau pikir aku bukan laki-laki baik-baik?!”
Merry melepaskan diri dari cengkramanku. “Terserah kau saja.” ucapnya. “Kean, apa kau tau mengapa Rhin yang berteriak tetapi kau yang terluka?”
“Apa maksudmu?”
“Tidak tau, kan? Kurasa kau harus cari tau sendiri,” tuturnya, kemudian berlalu.

###

Tidak ada yang salah dengan mencoba. Dengan mencoba, kita dapat mengetahui apa yang belum kita ketahui. Oleh karena itu, saat ini, aku berada di depan cermin dalam kamar tamu Karin. Walaupun terdengar gila, tetapi aku akan melakukan apa yang hampir dilakukan Merry.

Perlahan kubuka kancing kemejaku satu per satu. Kulihat pantulan diriku di dalam cermin. Tidak ada yang berbeda, menurutku. Kuputar tubuhku sedikit demi sedikit. Tetap saja tidak ada yang berbeda. Kemudian kulepas kemejaku. Kurasa tidak ada yang berubah. Kecuali perban di lengan kiriku.

“Apa ini?”

Ada guratan berwarna sedikit kecoklatan sepanjang dada atas kiri, lalu bahu dan menjalar ke lengan kiri atas. Aku tidak tau sejak kapan guratan-guratan itu muncul. Tetapi yang jelas, guratan ini tidak terlalu lama muncul. Mungkin satu atau dua hari yang lalu. Ketika kuraba guratan di bahu atasku, tidak ada yang kurasakan. Mati rasa? Apa ini yang dimaksud Merry?

“Kean?”
Aku berbalik, “Rhin?”
“MAAF!” teriaknya.
“Kenapa kau minta maaf?”
“A..ak..aku akan kembali nanti. Kututup pintunya.. Ma..maaf,” ucapnya, lagi.
“Rhin!” panggilku.

Tetapi Rhin sudah terlanjur keluar dari kamar. Aku menggeleng pelan sambil tersenyum. Baru setengah jam yang lalu aku meninggalkannya, sekarang dia sudah bisa kukatakan mendekati kesembuhan.

Aku kembali ke posisi semula, menghadap cermin. Spontan aku memukul kening. Sekarang aku tau mengapa Rhin tiba-tiba berteriak meminta maaf padaku. Kurasa seharusnya aku yang meminta maaf karena tidak memakai atasan.

“Dasar,” gumamku sambil tersenyum.

###

Sampai pukul tujuh malam, aku tidak keluar kamar. Bukan hanya untuk menghindari Karin, tetapi aku juga berniat agar tidak bertemu dengan Merry. Aku bisa gila jika bertemu dengan mereka dalam satu ruangan. Karena itu, beberapa menit yang lalu aku memerintahkan sekertarisku untuk mengurus pembelian apartemen di dekat rumah Karin.

Aku berrencana untuk menitipkan Rhin di rumah Karin, sedangkan aku akan tinggal di apartemen. Setidaknya dengan cara ini, aku bisa mengecoh bodyguard jelek itu. Selain itu, aku tidak akan mengalami gangguan mental terlalu lama.

“Kean, makan malam sudah siap!” teriak Rhin sambil mengetuk pintu.
“Aku tidak lapar!” balasku.
“Ada sup kesukaanmu!” tambahnya.
“Aku tidak akan makan masakan buatan Karin!”
Rhin terdiam sesaat, kemudian kembali menjawab. “Ini bukan buatan Bibi. Ini buatanku.”
“Tidak mungkin!” teriakku. “Bocah sepertimu mana bisa memasak! Jangan bohong!”
“Baiklah.. Supnya memang bukan buatanku. Tapi buatan Merry.”
Aku tertawa terbahak-bahak. “Jangan bercanda. Cewek genit itu mana mungkin bisa memasak!”
“Iya, iya. Aku mengaku.. Supnya  Bibi beli dari restoran. Sekarang kau mau makan?”

Aku bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan menuju pintu. “Asal kau tau. Karin tidak akan pernah mengeluarkan uang hanya untuk membeli makanan yang bisa dibuatnya sendiri,” ujarku sembari memutar knop pintu perlahan.

BLUK!
Rhin, Merry, dan Karin, jatuh saling tindih ketika pintu kamar terbuka. Sudah kuduga mereka bersekongkol. Yah, setidaknya dengan begini mereka bisa menerima pelajarannya.

“Aku sudah memesan pizza. Jadi kalian tidak perlu repot-repot,” ucapku.

Suara bel berbunyi. Kurasa itu pengantar pizza-nya. Aku berbalik, lalu berjalan menuju sofa tunggal tempatku meletakkan dompet. Saat aku membuka dompet untuk mengambil uang, tiba-tiba pintu kamar menutup. Ini pasti ulah mereka. Aku berlari ke pintu dan mendapati pintu itu sudah terkunci.

“Hei, buka pintunya!”
“Tidak mau!” teriak Rhin.
“Rhin, buka pintunya, sekarang!”

Tidak ada jawaban. Aku mendengar suara pintu yang tertutup. Mereka pasti sudah mendapatkan pizza-ku. Aku berhenti menggedor-gedor pintu dan beralih ke tempat tidur. Aku masih ingat saat Karin membuang setiap potong pizza yang hendak kumakan. Saat itu mereka belum bercerai. Dia bilang bahwa pizza merupakan makanan yang tidak bergizi. Padahal disana terdapat keju yang sangat banyak. Keju termasuk jenis makanan bergizi, bukan?

Sudah hampir satu jam, mereka bahkan tidak menimbulkan kegaduhan. Mereka benar-benar tangguh. Dan kuakui bahwa perutku mulai sakit. Aku tidak pernah bisa berkompromi dengan perutku masalah jadwal makan. Harus tepat waktu dan tidak boleh bolos. Persis seperti bersekolah. Karena sekali saja terlambat bahkan bolos, maka perutku akan terasa seperti dililit oleh rantai paku.

“Kean? Kau masih di dalam, kan?”
“Rhin?” gumamku, pelan.
“Apa kau tidak lapar? Kata Bibi, kau akan sakit jika terlambat makan. Kean, setidaknya makanlah sekali ini saja. Aku.. Aku tidak mau kau sakit.”

Baiklah. Kurasa mereka memang mengerti kelemahanku. Lambungku dan Rhin. Untuk yang terakhir, aku baru saja menyadarinya. Tolong jangan tanyakan kenapa.

Dengan ogah-ogahan aku beranjak dari tempat tidur menuju pintu. “Aku akan makan. Buka pintunya.”

KLEK!
Kunci pintu diputar, lalu aku segera membuka pintu. Rhin berdiri di depanku sambil meremas kedua tangannya. Dia menatapku, seperti seseorang yang sedang khawatir. Atau memohon maaf karena sudah mengunciku di kamar. Entahlah, aku tidak tau yang mana yang benar.

“Perutku belum sakit,” ucapku. “Jangan khawatir.”
Rhin menghela nafas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. “Bagus kalau begitu. Ayo makan! Bibi dan Merry sudah menunggu di ruang makan.”

Aku mengikuti Rhin dari belakang. Ketika sampai di rruang makan, kulihat Karin dan Merry duduk melingkari meja persegi yang masih sama seperti dulu, saat keluargaku belum hancur. Keduanya spontan berdiri, seperti menyambutku.

“Akhirnya kau bisa dibujuk keluar,” ujar Karin.
“Hei, asal kau tau.. Sebenarnya aku bisa memasak! Kau pikir selama ini aku hidup sendiri tidak membutuhkan keahlian?!” Merry memprotesku.

Dengan cueknya aku menarik salah satu kursi, kemudian duduk. Di hadapanku, sudah ada semangkuk sup dan nasi. Aku melirik Merry, Karin, dan Rhin bergantian. Akhirnya mereka ikut duduk. Rhin di sisi kananku, Karin di hadapanku, dan Merry di sisi kiriku. Tanpa basa-basi, aku segera menyendok sup. Tetapi belum sempat aku memasukkannya ke dalam mulut, aku menyadari satu hal.

“Kalian tidak makan?” tanyaku.
“Kami sudah makan!” jawab mereka, kompak.
“Lalu kenapa kalian masih di sini?1”
“Memangnya apa urusanmu? Kami memang ingin disini!” jawab Merry.
“Kalian merusak pemandangan,” ujarku, sekenanya.
“Maaf,” ucap Rhin sambil menunduk. “Ak..Aku hanya ingin melihatmu makan.”
“Wah, wah, wah.. Kean, kau baru saja mematahkan hati seorang gadis,” sahut Karin.
“Apa?! Aku hanya me..”
“Kean, kau tidak seharusnya berkata seperti itu,” timpal Merry.
“Kau pikir aku bermaks..”
“Kean, perasaannya pasti sangat sakit. Kau tidak boleh bersikap kasar,” ucap Karin.
“Seharusnya kau memperbolehkannya duduk disini sambil melihatmu makan,” tutur Merry.

Ini konspirasi! Mereka benar-benar ingin menyudutkanku. Mereka pasti tau bahwa aku menggunakan kalimat ‘merusak pemandangan’ agar mereka tidak menggangguku. Setidaknya kalimat itu bukan untuk Rhin. Dan mereka memanfaatkan kepolosan Rhin untuk menyerangku. Sialnya, aku tidak bisa berbuat apapun. Oh, Lord.. Apakah aku tidak boleh mendapatkan ketenangan saat makan?!

“Terserah,” jawabku.

###

Masih di tempat yang sama, di hari yang sama, dengan jam yang berbeda. Sekitar sepuluh menit yang lalu, Karin dan Merry pergi keluar untuk membeli perban sekaligus mengembalikan mobil yang kupinjam tadi siang. Rhin sedang menonton televisi dan aku menemaninya. Kami duduk di sofa panjang bermotif kotak-kotak hitam dan putih. Dulu, sofa ini pilihan ayah. Tetapi Karin tidak menyukai warnanya. Karena sudah terlanjur dibeli, Karin terpaksa menerimanya. Dan sofa ini tempat favoritku.

“Kean?”
“Ya.”
“Apa lenganmu sudah baikkan?” tanya Rhin.
“Tidak sakit sama sekali. Seharusnya aku yang tanya, apa lenganmu sudah tidak sakit?”
Rhin mengangguk, “masih sedikit sakit. Tetapi tidak apa-apa.”
“Kau seharusnya masih istirahat. Jangan menuruti perkataan mereka.”
“Bibi dan Merry? Mereka baik padaku. Aku juga sudah janji pada Merry melakukan satu hal.”
“Apa itu?”
“Aku tidak boleh memberi tau siapapun.”
“Oke. Terserah.”

Aku berdiam diri setelah itu. Rhin kembali fokus kepada televisi. Di dalam kediamanku, aku mulai teringat kejadian tadi siang. Terutama tentang Kyo. Aku belum mengatakan apapun pada Rhin. Terutama tentang Kyo yang kembali ke rumah sakit untuk menemui Hikari. Dan tentu saja aku tidak terlalu bodoh untuk mengatakan hal itu kepada Rhin. Kurasa yang belum kukatakan adalah kaliamat untuk menghiburnya.

“Rhin.. jangan pikirkan kejadian tadi siang. Bukan tentang penculikan itu.. Tetapi saat di taman hiburan. Kau.. Err.. tidak harus.. merasa.. kecewa. Ah, bukan-bukan! Maksudku putus asa. Pasti masih ada kesemp...”

Rhin menarik bajuku. Aku menoleh. Dia menghadap tepat ke arahku. Kedua matanya tertutup. Aku melirik ke kanan dan ke kiri, kemudian menelan ludah. Apa-apaan ini? Jebakan? Atau sesuatu yang lain?

Entah apa yang menggerakkanku, tetapi saat ini jarak wajah kami hanya tinggal tiga senti. Tak butuh waktu lama, ujung hidung kami sudah bersentuhan. Aku mulai menutup kedua mataku.

“Kean?”

###